Ads 468x60px

Headlines News :

Monday, June 10, 2013

“Pendidikan Diskriminatif? : Saya (Lupa) Peduli”

Begitu familiarnya istilah ABS—singkatan Asal Bapak Senang—pasca masa Orde Baru. Hampir paripurna dari antara khalayak yang menguktuki karakter itu. Kendati demikian, tak terbantahkan kenyataan bahwa karakter itu telah lama dianut banyak orang. Ada yang melakukannya karena rasa takut, dan tidak jarang dari mereka yang melakoninya karena merasa untung. Bagi yang membela diri berkelit bahwa dari pada buntung lebih baik menikmati untung, meski hati sebenarnya melawan. Sebagian lagi beranggapan bahwa itu bagian dari budaya luhur—menghormati orang yang lebih tua—jadi adalah hal mulia menjalankannya.
Sekilas, anggapan kita yang cenderung mengutuki karakter tersebut seakan sangat biasa. Tapi, pernahkah kita merasa bahwa mengutuki karakter itu menjadi tidak relevan dan tidak adil hari-hari ini. Rasa-rasanya dewasa ini kita cenderung munafik, sebab dalam keseharian, kita justru mengadopsinya dalam bentuk yang lebih dalam tingkat egoistiknya. Bila ABS menggambarkan kecenderungan melindungi diri dan mempertahankan zona nyaman—kado bagi orang patuh (bila tidak bisa dibilang penjilat)—hari-hari ini kita memilih diam dan menikmati kenyamanan manakala ada banyak orang tersisih dan teralienasi oleh sistem yang berjalan.
Saya teringat dengan sebuah diskusi dari seorang senior di organisasi. Beliau sempat meninju alam sadar saya yang selama ini ditaburi oleh kenyamanan dan keberuntungan. Saya masih mampu masuk dalam orang-orang yang selamat lewat sistem yang nyata-nyatanya diskriminatif dan tidak manusiawi. Betapa tidak. Beliau menyampaikan ilustrasi akan jalur masuk Perguruan Tinggi yang tiap tahun berlangsung. Pernahkah kita berpikir akan saudara sebangsa kita yang gagal dan kalah dalam pertarungan menuju PTN. Kemanakah mereka setelah kalah dalam pertarungan? Ataukah kita menganggap mereka tidak lebih sebagai seorang rival belaka? Sehingga yang terjadi kitapun membanggakan kelulusan, merayakan kemenangan, dan menghina mereka yang kalah meski kadangkala tidak secara langsung.
Dalam benak saya hal ini patut dijadikan beban buat dipikir ulang. Nampaknya tidak salah untuk menelisik kembali isi nurani, benarkah kita masih peka akan kebersamaan berbangsa. Selama ini saya tidak terpikirkan akan siapapun yang sudah kalah, sehingga kemenangan masuk PTN saya gunakan dengan biasa saja tatkala berada dalam ruang nyaman pendidikan ini. Manakala saya menikmati pendidikan, ternyata tidak jarang dari mereka yang teralienasi memupuk rasa marah dan iri hati. Setelah tidak mendapat perhatian dari pemerintah, mereka juga sama sekali jauh dari uluran tangan mereka yang merasa menang. Celakanya, sorot mata memandang miring bahkan sebelah mata mereka yang tidak masuk pada PTN. Sekali lagi pertanyaan-pertanyaan menghujani pikiran saya. Benarkah negeri ini lahir atas dasar kesamaan dan kebersamaan. Apakah dalam konteks lebih luas kita masih bisa bersatu, bila konteks kecil ini masih konsisten dalam track-nya.
Bayangkan lagi, rasa marah dan iri oleh karena diskriminasi ini membludak dan muncul komunitas sakit hati pada bangsa dan negeri ini. Apakah yang akan terjadi? Bukan tidak mungkin kita akan dipertontonkan dengan ekspresi kekesalan lewat tawuran, unjuk rasa destruktif, dan perkelahian antar geng. Bukan itu saja, bagaimana dengan depresi yang menghantui negeri ini akhir-akhir ini? Coba bayangkan konteks lebih luas, sebuah bangunan logika yang dijejali dalam pikiran mereka hingga terorisme dan pemberontakan menjadi jalan yang indah untuk mengekspresikan kekesalan.
Belakangan saya berpikir ulang manakala saya dan beberapa teman kerap berwacana, mengkritik pendidikan yang tidak nyaman, padahal saya sudah duduk di sebuah PTN. Bagaimana kemudian dengan mereka yang tidak? Tentu saja masih banyak yang harus merogoh lebih dalam kantongnya untuk sebuah pendidikan yang indikator kualitasnya pun masih dipertanyakan. Saya tidak bermaksud untuk mengajak agar kita tidak perlu mengkritisi ketidakmaksimalan fasilitas di kampus kita masing-masing. Melainkan, patut kita pikirkan kondisi yang lebih luas dari pada itu. Diskriminasi pendidikan yang begitu gencar menghantui kehidupan pendidikan negeri ini.
Bukankah bila masih beranggapan kita sebangsa dan setanah air. Dan, bilamana kita masih menjunjung tinggi keadilan dalam menikmati pendidikan, sekaligus kesamaan akses akan kecerdasan bukankah kita akan sangat merelakan kondisi tidak nyaman, belajar dalam ruang yang sempit oleh karena begitu banyaknya anak bangsa yang menimba ilmu. Tanpa pendingin ruangan, tetapi para dosennya sejahtera dan mampu mengajari ribuan mahasiswa dalam satu kelas. Kemudian tanpa bangunan mewah dan megah, tapi tidak ada diskiriminasi—siapapun baik kaya atau miskin—bisa menikmati pendidikan sebagai bagian dari kewajiban bersama elemen negeri ini.
Saat ini kita merasakan kenyamanan itu dan kita masih kerap mengeluh. Sayangnya kita menjadi pengeluh-pengeluh yang tidak peka dengan sesama yang sudah sangat bosan dengan mengeluh. Mereka mengeluh dan tidak didengar. Apakah artinya mereka, mungkin tidak mampu dideskripsikan oleh akal sehatnya. Dan mungkin saja menjadi gila—menciptakan dunia yang ideal dalam angan-angan—menjadi sangat menyenangkan. Dan itu menjadi pilihan yang paling rasional untuk kondisi hari-hari ini.
Saya benar-benar diajak masuk dalam ruang dialektis yang sangat dalam yang jarang saya masuki selama ini. Ternyata sudah terlalu lama nurani ini terselimuti, hingga hangat yang terasa membutakannya. Inipun menjadikannya diam sebab sangat nyaman menjadi orang yang menang. Tentu saja menunggu menjadi kalah terlebih dahulu kemudian merasakan sakitnya dan mulai berkomentar tidaklah menyentuh nilai-nilai moral yang selama ini diagung-agungkan dalam khayalan.

Karya
Wakabid GmnI DPC sumedang

0 comments:

Post a Comment